Selamat Datang

Bintang

Pages

Kamis, 07 Februari 2013

Syiah, tasawuf, dan Revolusi Islam Iran

Poster para sahabat Nabi Muhammad, termasuk Ali yang dihormati umat Islam Syiah.
Tradisi Islam Syiah pertama kali masuk Indonesia antara lain melalui jalur tasawuf sekian ratus tahun silam, tetapi Revolusi Islam 1979 di Iran menumbuhkan Syiah menjadi ideologi yang menarik kaum intelektual.
Anggota Dewan Syura Ahlulbait Indonesia ABI, Muhsin Labib mengatakan, mengutip sebuah penelitian, salah-satu bukti bahwa pengaruh Syiah telah lama berkembang di Indonesia, dapat dilihat dari kesamaan beberapa tradisi Syiah dengan praktek tasawuf, ajaran Kejawen serta nilai-nilai yang diajarkan para Wali Songo di Jawa.

"Ajaran pantheisme, seperti manunggal ing kawulo gusti, itu 'kan sinkron dengan pandangan teologis Syiah," kata Muhsin Labib kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, melalui telepon, Kamis (13/09).
Hal itu hanyalah satu contoh, kata Muhsin, betapa ajaran Syiah sudah lama terserap di masyarakat Indonesia.

"Kemudian kita lihat jejak dan situs sejarah yang menegaskan kehadiran Syiah di Indonseia, jauh sebelum Islam Arab yang muncul di bumi nusantara," kata Muhsin, " misalnya di Aceh, Bengkulu, kraton Solo, ada (tradisi) Suro..."
Karenanya, lanjut Muhsin, banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari Persia. "Misalnya nakhoda, bandara, syah.. Itu semuanya menghubungkan ada hubungan yang cukup lama antara Syiah dan Indonesia.
Dan, "orang memakai peci hitam itu bisa dikaitkan dengan simbol ke-Syiah-an," ungkap Doktor Muhsin Labib, yang juga menjadi staf pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta.

Kelompok Alawiyin

Bukti lainnya, menurut staf pengajar paska Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Doktor Fuad Jabali, dapat dilacak dari manuskrip dan buku-buku yang ditulis pada abad 16 dan 17 di wilayah Nusantara.
Diyakini ada kedekatan tradisi Syiah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Buku-buku yang ditulis para ulama itu, menurutnya, menunjukkan kuatnya pengaruh Syiah di wilayah Nusantara.
"Itu kalau dibaca, bisa melihat dengan gampang betapa kuatnya pengaruh Persia atau Syiah," katanya kepada BBC Indonesia.
Dari kenyataan sejarah ini, lanjutnya, menunjukkan betapa tradisi Syiah mampu diterima oleh masyarakat lokal di wilayah Nusantara. "Tidak ada problem kan.."
Pada perjalanannya, gelombang kedua pengaruh Syiah ke Indonesia ditandai "kehadiran tokoh-tokoh tertentu yang dikaitkan dengan taraqih alawiyin (dari Hadramaut, Yaman)", kata Muhsin Labib.
"Dari kenyataan sejarah ini, lanjutnya, menunjukkan betapa tradisi Syiah mampu diterima oleh masyarakat lokal di wilayah Nusantara."
Doktor Fuad, staf pengajar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
"Itu memperkuat masyarakat Syiah dengan keluarga Nahdlatul Ulama (NU). Makanya para habib dapat posisi penting dalam masyarakat NU," ungkapnya.
Walaupun masuknya ajaran Islam ke Indonesia diyakini sebagian para ahli mengandung unsur-unsur Syiah, belum ada sepakat diantara para ahli sejarah.
Pengamat masalah keislaman Azyumardi Azra, misalnya, menyatakan "masuk dan berkembangnya Syiah di Indonesia dari perspektif sejarah masih kontroversial".
Hal itu dia utarakan dalam kata pengantar berjudul Syiah di Indonesia: antara mitos dan realitas, dalam buku Syiah dan Politik di Indonesia, sebuah penelitian karya A Rahman Zainuddin dan M Hamdan Basyar (terbitan Mizan, 2000).

Revolusi Islam Iran 1979

Terlepas dari polemik soal kebenaran sejarah, sejumlah kalangan mencatat peristiwa Revolusi Islam Iran pada 1979 merupakan gelombang berikutnya masuknya pengaruh Syiah ke Indonesia.
Revolusi Islam Iran pada 1979 diinspirasi oleh sosok yang sangat dihormati umat Syiah, Ayatullah Khomeini.
"Gelombang kedua ini ditandai dengan sifatnya yang intelektual," kata Jalaludin Rahmat, dalam buku Catatan Kang Jalal, Visi Media, Politik dan Pendidikan (1998).
Dalam masa-masa ini, menurut Jalaludin yang juga Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia, orang-orang yang simpatik terhadap Syiah ini "kebanyakan berasal dari perguruan tinggi".
Kebanyakan diantara mereka, lanjutnya, juga tertarik dengan Syiah sebagai "alternatif terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang ada".
"Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya," jelasnya. "Dari segi ideologi, mereka cenderung radikal".
Dalam pandangan Doktor Fuad Jabali, Revolusi Islam Iran menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan Islam terdidik, karena "memberikan jawaban terhadap sebuah persoalan besar yang tidak bisa dijawab oleh masyarakat dan tradisi sunni".
Jalaludin Rahmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia.
Dia kemudian memberikan contoh: "Misalnya, di dunia Muslim Sunni, karena otoritas politik dan agama diserahkan pada masyarakat kebanyakan, maka akan terbuka konflik yang lebih luas, karena masing-masing mengklaim lebih baik dari lainnya... Tidak ada mekanisme atau cara-ara untuk memilih kepemimpinan yang bisa diterima..."
Persoalan seperti ini, menurutnya, tidak ada pada Islam Syiah. "Syiah sangat solid karena konsep Imamah, karena kepemimpinan diserahkan pada satu orang."
Di masa ini, menurut Jalaludin Rahmat (dalam wawancara dengan harian Republika, Kamis, 30 Agustus 2012), penyebaran Syiah belum menjadi ancaman. "Sebab, hanya dianggap sebagai gerakan intelektual. Mereka tak membahas fikih".
"Jadi gelombang kedua itu tak menimbulkan kerusuhan," ujarnya.

Mendalami Fiqih

Namun demikian, masih menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya (1998), ada perubahan pendekatan ketika muncul gelombang berikutnya "yang ditandai dengan kehadiran alumnus-alumnus Qum yang lebih berorientasi pada pendekatan fiqih".
"Ketika mereka datang ke Indonesia, mereka memenuhi kebutuhan akan fiqih ini," tulisnya.
"Mulailah mereka memberikan pengajian-pengajian Syiah di berbagai tempat".
Dalam wawancara dengan Republika, Jalaludin Rahmat mengatakan, pada 1990-an para habib yang pulang dari Qum, Iran, "mulai mengajarkan Syiah ke kalangan terbatas. Seperti Ustad Umar di Palembang dan Ustad Husein Al Habsyi di Jawa Timur. Mereka datang dengan fikih Syiah".
Dalam perkembangannya, "Mulailah muncul benih konflik... Karena pada tahap pemikiran, tak terjadi pergesekan," kata Jalaludin.
Sejauh ini, ungkap Jalaludin, komunitas Syiah banyak mendiami Bandung dan sekitarnya, Makasar serta Jakarta.
Walaupun jumlahnya jauh lebih kecil dibanding warga Islam Sunni, diperkirakan jumlah warga Syiah di Indonesia antara 500 ribu hingga lima juta jiwa, kata Jalaludin.
Sumber: http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2012/09/120912_lapsus_syiahsampang_sejarahsyiahindonesia.shtml


0 komentar:

Posting Komentar

 
 
Free Fire Pointer Blue Cursors at www.totallyfreecursors.com